Setelah menjalankan sholat ashar, aku dan temanku, berangkat ke dusun paleggin untuk mengajarkan baca tulis. Di kantor tak terpakai, kami gunakan untuk melakukan kegiatan itu. Satu-dua orang datang dan kemudian rombongan orang-orangpun berdatangan. Hingga ruangan itupun penuh sesak oleh warga yang ingin belajar. Sampai-sampai ada beberapa warga yang harus berada di teras kantor, karena ruangan yang tak mencukupi.
Lebih dari 30 warga, dalam ruangan berukuran 4m x 4m. Bukanlah ukuran yang pas, untuk dapat maksimal memperoleh ilmu yang kami berikan. Juga dengan waktu yang hanya 90 menit tiap satu kali pertemuan membuat kegiatan pelatihan ini sedikit tidak maksimal. Begitu juga dengan jarak tempat pelatihan dengan balai desa, membuat kami sedikit membuang waktu.
Antusias Warga dalam Pembelajaran
Satu persatu lembaran kertas dan alat tulis aku bagikan ke warga yang ada di ruangan itu. Namun apa yang aku bayangkan terjadi. Kertas dan alat tulis yang kami bawa tak mencukupi untuk seluruh peserta pelatihan baca dan tulis. Tak kehilangan akal, kamipun harus berkata, “nyo’on saporana, potlotna tak benya’ tak langkong mon bapak ibu gantian”.
Di ruangan itu, dari anak kecil hingga kakek-nenek ada disana. Belajar memang tak mengenal usia, dari bayi yang dalam kandungan hingga liang kubur, kita diharuskan terus mencari ilmu. Dengan adanya kegiatan ini kami harapkan agar warga yang tidak dapat membaca maupun menulis menjadi berkurang.
Ada seorang anak kecil yang menemani ibunya untuk belajar. Dia membantu ibunya untuk mengerti bagaiman cara menulis huruf yang benar dan cara membaca huruf itu. Kecil, pinter, dan lucu. Mungkin dibenaknya, dia ingin ibunya dapat membaca hasil rapornya disetiap semester. Dan ingin menjadikan ibunya dapat lebih mengerti caranya menulis. Mungkin biar dapat menuliskan surat ijin, jika dia sedang sakit.
Wah, ini mengurangi beban kami pikirku. Dan kami dapat serius mengajar ke warga yang lain dengan adanya anak kecil yang pintar ini.
Disudut lain ada seorang kakek dengan nafas yang ngos-ngosan dan penglihatan kabur. Sedang mendengarkan temanku yang memberikan arahan cara membaca abjad dan cara menuliskannya. Kukira kakek ini serius mendengarkan, tetapi ktika kudekati rupanya, si kakek sudah agak tuli, dan kalau ingin berbicara dengannya harus sedikit berteriak. Waduh,susah ini. Tangannya pun sudah bergetar ktika memegang pensil yang aku berikan. Mau nulis dan baca sudah merupakan hal menyulitkan baginya. Tapi aku coba untuk mengenalkan beberapa huruf saja.
Dan itu beberapa hal yang aku dapat ceritakan ktika hari pertama mengajarkanbaca tulis di dusun paleggin, desa longos. Mengesankan, tapi sedikit membuatku kewalahan. Apalagi ktika seluruh peserta tidak dapat menggunakan bahasa nasional.
Lebih dari 30 warga, dalam ruangan berukuran 4m x 4m. Bukanlah ukuran yang pas, untuk dapat maksimal memperoleh ilmu yang kami berikan. Juga dengan waktu yang hanya 90 menit tiap satu kali pertemuan membuat kegiatan pelatihan ini sedikit tidak maksimal. Begitu juga dengan jarak tempat pelatihan dengan balai desa, membuat kami sedikit membuang waktu.
Antusias Warga dalam Pembelajaran
Satu persatu lembaran kertas dan alat tulis aku bagikan ke warga yang ada di ruangan itu. Namun apa yang aku bayangkan terjadi. Kertas dan alat tulis yang kami bawa tak mencukupi untuk seluruh peserta pelatihan baca dan tulis. Tak kehilangan akal, kamipun harus berkata, “nyo’on saporana, potlotna tak benya’ tak langkong mon bapak ibu gantian”.
Di ruangan itu, dari anak kecil hingga kakek-nenek ada disana. Belajar memang tak mengenal usia, dari bayi yang dalam kandungan hingga liang kubur, kita diharuskan terus mencari ilmu. Dengan adanya kegiatan ini kami harapkan agar warga yang tidak dapat membaca maupun menulis menjadi berkurang.
Ada seorang anak kecil yang menemani ibunya untuk belajar. Dia membantu ibunya untuk mengerti bagaiman cara menulis huruf yang benar dan cara membaca huruf itu. Kecil, pinter, dan lucu. Mungkin dibenaknya, dia ingin ibunya dapat membaca hasil rapornya disetiap semester. Dan ingin menjadikan ibunya dapat lebih mengerti caranya menulis. Mungkin biar dapat menuliskan surat ijin, jika dia sedang sakit.
Wah, ini mengurangi beban kami pikirku. Dan kami dapat serius mengajar ke warga yang lain dengan adanya anak kecil yang pintar ini.
Disudut lain ada seorang kakek dengan nafas yang ngos-ngosan dan penglihatan kabur. Sedang mendengarkan temanku yang memberikan arahan cara membaca abjad dan cara menuliskannya. Kukira kakek ini serius mendengarkan, tetapi ktika kudekati rupanya, si kakek sudah agak tuli, dan kalau ingin berbicara dengannya harus sedikit berteriak. Waduh,susah ini. Tangannya pun sudah bergetar ktika memegang pensil yang aku berikan. Mau nulis dan baca sudah merupakan hal menyulitkan baginya. Tapi aku coba untuk mengenalkan beberapa huruf saja.
Dan itu beberapa hal yang aku dapat ceritakan ktika hari pertama mengajarkanbaca tulis di dusun paleggin, desa longos. Mengesankan, tapi sedikit membuatku kewalahan. Apalagi ktika seluruh peserta tidak dapat menggunakan bahasa nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar