Kamis, 16 Agustus 2012

Agebey Tiker (Membuat Tikar)

Hari ketiga masih dalam tahap pengenalan dengan warga, seluruh pejuang 33 meninggalkan balai desa untuk terjun ke masyarakat. Ada yang menarik dari sebuah kreatifitas masyarakat. Selain buahnya, daun pohon kelapa juga dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Kreatifitas tersebut berada di sebuah dusun di Longos yaitu dusun Buabu.
Masyarakat di dusun Buabu adalah masyarakat yang terkenal religius diantara dusun-dusun lain di desa Longos. Masyarakatnya menjungjung tinggi nilai adat ketimuran. Dilain sisi masyarakat di dusun tersebut memiliki sebuah kebiasaan unik sejak lama, yaitu pengrajin tikar daun ta’al di dalam goa bekas pengerukan batu gamping. Kegiatan pengerukan batu gamping tersebut sudah dilakukan puluhan tahun yang lalu oleh masyarakat sekitar.

Pembuatan Tikar di Goa

Batu gamping tersebut digunakan warga untuk membangun rumah warga sekitar dan selain itu untuk di jual ke desa-desa tetangga ataupun pasar-pasar tradisional disekitar desa. Ada dua goa yang sudah di keruk batu gampingnya, goa tersebut jaraknya tidak jauh antara satu dengan yang lain.
Awal mula goa tersebut digunakan warga sebagai sarana tempat pembuatan tikar dari daun ta’al ketika masyarakat tersebut tahu goa tersebut tidak digunakan. Mereka merasa nyaman ketika membuat kerajian tersebut di dalam goa. Cony dan Imro, pejuang 33 ahli Sosiologi sangat tertarik dengan anyaman-anyaman indah masyarakat Buabu. Merekalah yang paling antusias saat wawancara dengan masyarakat saat itu.
 “Kaule arassa nyaman bile kodungerram e dalem maddungan. Polana kennenganna cellep. Kaule mangkat ka maddungan molae kol 07.00-16.00 sore. Kaule ampon abit daddi tokang gebey teker deun bulerek. Tak coman kaule tape sakabbienna masyarakat e sekitar maddungan.”
Kata salah seorang penganyam tikar di dalam Goa pada mereka. Arti dari kalimat tersebut adalah
“Saya merasa nyaman ketika harus menganyam didalam goa, karena suhunya yang dingin. Saya berangkat kegoa mulai pukul 07.00-14.00 WIB. Saya sudah lama menjadi seorang pengrajin tikar daun ta’al, juga masyarakat disekitar goa ini khususnya.”
Mereka menganyam tikar tersebut  biasanya karena permintaan dari pasar. Tikar tersebut dipergunakan untuk tempat pembungkus tembakau yang siap kirim atau disimpan di dalam gudang penyimpanan. Menurut mereka kenapa harus tikar dari anyaman daun ta’al, karena dirasa lebih bagus sebagai tempat penyimpanan tembakau, menurut mereka tempat juga mempengaruhi kualitas dan ketahan tembakau tersebut.
Mereka menjual hasil anyaman mereka ke tengkulak yang ada di dusun mereka. Setiap hari minimal satu anyaman tikar yang diperoleh setiap masing-masing penganyam. “Tikar-tikar ini biasanya dikirim ke Pamekasan, sudah ada pemasok tetap di Pamekasan. Semakin banyak orang membutuhkan tikar tersebut, maka harga tikar akan naik. Harga tikar di sesuaikan dengan musim tembakau. Jika musim tembakau sudah dekat maka semakin dicari pula tikar anyaman dan semakin mahal pula harga tiap satuannya”. Kata salah satu tengkulak tikar tersebut.
Cony yang mempunyai darah seni sangat tertarik dengan tikar-tikar ini. Cony adalah putri pertama dari dua saudara dengan seorang ibu yang sangat mahir dalam hal menari. Ibunya adalah guru tari yang tak kenal lelah. Tak salah jika Cony masuk dalam sebuah organisasi seni di kampus yang bernama Nanggala. Walau dia jurusan Sosiologi, bukan jurusan Seni dia sanggup menilai sebuah nilai seni. Semangatnya dia teladani dari ibunya tercinta yang setiap saat dia ceritakan. Inilah yang membuat dia berhasil pada sebuah juara dalam perlombaan tari mewakili kampus.
Dan Imro adalah sahabat sejati Cony, sejak semester awal mereka bersama hingga di KKN ini pun mereka tetap berjuang bersama. Persahabatan yang tak akan pernah putus oleh waktu, persahabatan yang membuat jalinan manis bagaikan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar